“Bip…bip…bip…,”
suara HPku berdering sedari tadi. Agak
terburu-buru kuselesaikan shalat Isyaku.
Setelah selesai segera kuraih Hpku yang terletak di atas tempat
tidurku. Ternyata Rama adik bungsuku
yang menelpon tadi. Tumben pikirku. Penasaran…langsung kutelpon lagi Rama.
“Ada apa, Ding?” tanyaku langsung.
“Pakde Ka.” Kata Rama singkat.
“Iya…, kenapa dengan Pakde,” tanyaku
dengan penasaran yang lebih lagi.
“Pakde…,”kudengar suaranya terputus-putus seperti ada yang ditahan. “Pakde…sakit Ka,” akhirnya dia mengatakannya juga.
“ Pakde sakit apa? Sudah dibawa ke dokter belum? Mama mana?
Kakak mau ngomong dengan mama….,”pertanyaanku langsung bertubi-tubi.
Pada akhirnya aku tahu kalau Pakde sakit sesak nafas tapi belum tahu apa penyebabnya. Sudah dibawa ke rumah sakit swasta tapi langsung ditolak karena mempunyai gejala seperti pasien Covid-19. Dan pada akhirnya diputuskan Pakde dibawa ke rumah sakit umum daerah Banjarbaru. Begitu penjelasan Mama saat aku menelpon tadi. Saat Mama menyebut kalau Pakde dibawa ke rumah sakit daerah yang merupakan rujukan Covid-19 pikiranku langsung tidak karuan. Tapi semoga apa yang kupikirkan tidak kejadian.
Rama
menjemputku di bandara. Kami pulang dulu
ke rumah dulu.
“Mama yang di rumah sakit Ka. Kita bergantian nanti menjaga Pakde. Dalam kondisi pandemic begini pihak rumah sakit membatasi keluarga pasien untuk membesuk. Pakde sekarang masih di ruang IGD,” Rama menjelaskan kepadaku dalam perjalan ke rumah. Aku hanya manggut-manggut mendengarkannya. Rasanya tidak sabar aku ingin ketemu Pakde.
“Tapi kalau kakak mau ngomong dengan Pakde, kita bisa vicall koq,”Kata Rama sambil mengangkat tasku ke rumah. Aku hanya mengangguk. Kuhempaskan tubuhku di sofa ruang tamu lalu
kuraih HPku untuk menelpon Pakde. Kutekan
nonya Abah. Agak lama menunggu tapi
akhirnya dianggkat juga.
“Assalamu’alaikum Pakde… Bagaimana keadaan Pian, Pakde ?”sapaku. Aku melihat wajah Pakde agak pucat tapi Sidin tetap tersenyum.
“Wa’alaikumussalam…Alhamdulillah Pakde sudah agak enakan ini, paling besok juga bisa pulang lagi ke rumah. Kamu kapan sampai ?”Tanya
“Baru saja Bah…,”kataku
“Kuliahmu bagaimana, mau siding kan
ya?”Tanya Pakde. Aku mengangguk perlahan.
“Maaf Pak Ibrahim, permisi kita
makan siang dulu ya, lalu ini obat yang harus Bapak minum nanti …,”kudengar
suara suster meminta Pakdeku untuk makan siang dan minum obat.
“Rin…Abah makan dulu ya Nak, kamu
jangan lupa juga makan,”Kata Pakde.
Sudah 3 hari Abah dirawat tapi belum
ada perkembangan yang berarti sbagai tanda kesembuhan Pakde. Mama juga semakin sedih dan lelah. Apalagi 2 hari lagi Sidin mulai masuk mengajar.
Itu juga menjadi pikiran Mama.
Dari keterangan Dokter Munawar yang merawat Pakde katanya Abah menderita
sinusitis akut. Lendir sudah menutupi
hampir di seluruh bagian pernafasan tapi semoga tidak sampai ke paru-paru.
“Kalau kondisi suami saya seperti
ini apa tidak sebaiknya diuap saja Dok agar lender bisa keluar,” kata mamaku
kepada Dokter Munawar.
“Belum
perlu, Bu. Kita lihat perkembangan Sidin dulu sampai besok. Sidin
minum obat yang sudah ulun resepkan
tadi saja Bu,”Jelas Dokter Munawar.
Mamapun menurut saja meskipun Sidin
tidak begitu puas dengan.
**********
“Apa….suami saya masuk ruang
isolasi? Koq bisa Dok? Kemarin kan Sidin masih baik-baik saja bahkan
sudah siap mau pulang. Tapi sekarang malah
masuk ruang isolasi.”kudengar suara Mama begitu terkejut mendapat telpon dari
Dokter Munawar. Mama terduduk lemas,
makanan yang dipesan Pakde kemarin Sidin
letakkan begitu saja di atas meja. Kalau Pakde masuk ruang isolasi secara otomatis kami sudah tidak bisa lagi menjenguk Abah. Ya Allah… kami hanya memohon yang terbaik
untuk Pakde…. Selama Pakde dirawat di ruang isolasi kami hanya bisa berkomunikasi
melalui HP. Jadi kami bisa mengetahui
perkembangan Pakde.
Sudah 2 malam Abah dirawat diruang
isolasi. Eantah kenapa hari ini Mama
terlihat begitu gelisah.
“Ada apa, Ma?”Tanyaku kepada mama setelah kami
menyelesaikan shalat Dhuha. Kulihat jam
dinding di rumaku menunjukkan jam 09.30.
“Abahmu, Mama telpon berapa kali kada mengangkat. Kenapa ya,
Rin?” jelas kulihat kekhawatiran dari wajah dan suara Sidin.
“Bagaimana kalau Pian coba telpon Dokter Munawar,
barangkali kita bisa mendapatkan informasi tentang Abah, Ma,” Saranku. Mamapun menelpon Dokter Munawar.
“Apa Dok…, suami saya koma. Sidin sudah memakai fentilator?” suara Mama
kudengar semakin cemas.
“Rin, kita ke rumah sakit
sekarang. Mama khawatir kalau terjadi
apa-apa dengan Pakdemu,” Mama mengajakku dengan tergesa-gesa. Di dalam mobil Mama juga sedang mencoba
menelpon Paman Rian Ading Abah. Tapi belum juga berhasil.
“Dok…bagaimana
keadaan kakak saya?”Tanya Paman Rian.
Panjang lebar Dokter Munawar tapi belum juga sampai pada kondisi Pakde saat ini seperti apa?
“Sudah lah Dok…nggak usah terlalu
bertele-tele, langsung saja, bagaimana keadaan kakak saya saat ini?” suara
paman Rian terdengar meninggi. Terlihat
wajah Dokter Munawar juga tegang mendengar suara Paman Rian seperti ini.
“Ulun mewakili rekan-rekan yang
sudah merawat Pak Ibrahim selama ini minta maaf….,”Suara Dokter Munawar
terhenti sejenak.
“Bapak sudah meninggal Pak, Bu…Saat
ini jenazah berada di ruang jenazah untuk diselenggarakan denga protocol
Covid-19. Ulun Permisi….,”Dokter Munawar
berlalu meninggalkan kami bertiga aku, Mama dan Paman Rian yang tak percaya. Secepat kilat Paman Rian langsung menuju
kamar jenazah. Melihat Paman Rian
datang, dengan cepat para petugas mencegahnya untuk masuk.
“Aku mau lihat kakakku untuk yang
terkahir kalinya,”Paman Rian memaksa untuk masuk.
“Jangan Pak, Pian kada boleh masuk ke sini,
berbahaya buat Pian,”kata
salah satu petugas di kamar jenazah.
“Kalau begitu izinkan aku
menyalatkan kakakku,” pinta Paman Rian.
Akhirnya petugas mengizinkan Paman Rian untuk ikut menyolatkan jenazah Pakde. Masalah tidak selesai sampai di sini
berlanjut pada masalah lokasi pemakaman.
Karena Pakde belum terkonfirmasi Covid-19 jadi masih boleh untuk memilih
sendiri lokasi pemakaman sesuai keinginan keluarga tidak dimakamkan khusus
korban Covid-19. Tapi jenazah Abah tidak
boleh dibawa pulang ke rumah jika tetap berkeras maka pihak rumah sakit tidak
bertanggung jawab dan kami akan membayar denda sebesar Rp20.000.000. Dalam kondisi seperti ini kami sudah terlalu
lelah untuk berdebat sehingga diputuskan untuk mengikuti saja peraturan yang
ada.
Pemakaman berjalan lancar, banyak
polisi dan satpol PP. Karena khawatir
masyarakat disekitar pemakaman ada yang tidak terima karena pasien Covid-19
yang dimakamkan di sana. Aku dan Mama
pulang ke rumah. Sudah ada saudara Mama yang membantu di sana tapi tetangga
yang berada dalam 1 blok tidak satupun yang datang. Mungkin mereka tahu kondisi Abah. Kami juga tidak tahu siapa yang sudah
menyebarkan isu kalau Abah positif covid-19 padahal hasil SWAB Test Sidin juga
belum keluar.
Teman-teman Abah satu sekolah banyak
yang datang menyampaikan belasungkawa.
Aku melihat Mama dari tadi sebentar-sebentar melihat kearah pintu.
“Ada apa, Ma?Ada yang Pian tunggu?” Tanyaku.
“Teman-teman Mama mengajar koq ngga
ada yang datang ya, Rin? Padahal Mama
membaca di grup WA sekolah ramai sekali mengucapkan turut berduka cita…,”Tanya
Mama dengan mata nanar.
“Mungkin mereka takut ketularan kita
ya Rin. Karena Pakdemu dimakamkan dengan
protocol Covid-19,”kata Mama. Aku hanya
mengangguk perlahan. Tiga hari setelah Pakde dimakamkan barulah kami menginjungi Sidin.
Kedatangan kami ke pemakaman diiringi tatapan tajam warga sekitar
pemakaman. Ternyata begini rasanya
menjadi keluarga yang dicurigai Covid-19.
Stigma masyarakat seperti ini yang harus siap kami hadapi sekeluarga.
Komentar
Posting Komentar