“Bu Ning... Bu Ning, njenengan dimana ??” sebuah suara yang khas sedikit
cempreng mengagetkan ku yang sedang asyik mengerjakan ppt pembelajaran di
ruanganku. “ Nggih bu Lastri.. saya disini” Jawabku dengan cepat. Berapa detik
kemudian bu Lastri sudah masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang menyimpan
kekesalan. “ Ini bu.. lihatlah dan bacalah berita ini!” katanya sembari
menunjukkan hp nya di hadapanku. Sejurus kemudian ku baca dan akupun merasa
jantungku berdebar kencang, terasa aliran darahku naik dengan cepat, emosiku
tiba- tiba meletup, tersinggung, marah, kecewa dan merasa terhina .. oh..
sungguh keterlaluan kalimat yang tertera di layar hp itu... “Guru makan gaji
buta, bisa – bisanya ada yang orang yang mengatakan demikian dimedia sosial
seperti facebook... astaga!!!” ungkapku dengan nada marah.
“Saya juga merasa
demikian bu... masa kita dibilang makan gaji buta... “ sahut Lastri sambil
mengelus dada.
Secara tidak
sadar air mata meleleh dipipiku.. terasa dingin, kaki mejadi lemas dan terpaku
aku ditempat dudukku...
Sekilas segala
hal yang terjadi melintas gambar demi gambar di kelopak mataku...
Masih terasa hari – hari pertama pandemi ini terjadi,... tiba – tiba
sekolah mendapatkan instruksi diliburkan ditengah siswa kelas XII mengerjakan
ujian akhir..
Berharap dua
minggu kemudian situasi mereda, kenyataannya terus berlanjut. Dengan
berlanjutnya pandemi berlanjut pula penderitaan kami, memikirkan apa yang harus
dilakukan untuk anak – anak yang masih harus menuntaskan materinya. Instruksi
daring membuat guru berpikir keras. Mencari cara terbaik bagaimana mengajar
dengan segala keterbatasan fasilitas anak – anak.
Terlebih bagiku, dengan tiga orang anak yang masih kecil, membutuhkan
pendampingan penuh, ini sunggiuh sangat menyiksa, disatu sisi aku harus
mengerjakan perangkat mengajar, menyusun bahan ajar, membuat ppt dan
mengeksportnya menjadi vidio pembelajar, dalam waktu singkat mencoba mencari
aplikasi yang tidak memberatkan kuota peserta didik, mulai dari google
classroon, edmodo, menggunakan zoom meeting, google meet semuanya dicoba. Demi
tercapai tujuan pembelajaran harus meluangkan waktu mengikuti webinar –
webinar, pelatihan online dan seterusnya.
“Mohon maaf bu, hp saya rusak, tidak dapat dipakai untuk whatsaap. Ini
saya pinjam hpnya adik, apakah ibu bisa mengirimkan tugas kembali. Saya akan
kerjakan sekarang bu.” Aku membaca pesan whatsapp dari siswa binaanku dengan
mata setengah tertutup. Ku coba lihat jam pukul 23.30 WIB.
“Baik nak, saya
kirim sekarang.” Balasku cepat. Mataku yang tadinya melekat tiba- tiba menjadi
terbuka, kuraih laptop dan segera kukirimkan materi dan tugas kepada siswaku.
Malam itu aku tak mampu lagi memejamkan mataku sampai pagi menunggu sampai dia
menyelesaikan semua tugasnya..
“Pak Joko.. bisakah saya menanyakan
siswa bernama Klara. Apakah dia ada kendala di smartphone pak?” tanyaku pada
wali kelas XI C, Pak Joko Budiono. “Inggih bu, klara ini dari keluarga tidak
mampu, bahkan saya sudah ajukan untuk mendapatkan bantuan paket data ke
sekolah. Kenapa bu dengan klara?” . “ Klara belum mengerjakan tugas – tugas
saya pak!” jawabku singkat. “Bu Ning bisa buat print out materi dan tugas ibu,
nanti saya gabungkan dengan milik teman – teman guru yang lain. Kalau tidak ada
halangan siang ini akan saya kirimkan ke rumah klara bu, bagaimana?” sambung
Pak Joko kemudian memberikan solusi buatku. “Baiklah pak... saya buatkan print
out tugasnya.” Sahutku.
“ Mama.. tolong bantu bantu adik
buat PR matematika ini, sulit ma.” Anak gadisku berlari kecil menghampiriku
yang sedang berada di depan laptop, sedang menerangkan materiku dengan beberapa
siswa yang dapat aku hubungi. “Tunggu sebentar ya sayang, mama sedang
menerangkan materi sama kakak- kakak ini ya..” jawabku singkat. Dari ekor
mataku kulihat anak gadisku berlau dengan pandangan kecewa... hatiku terasa
perih. Aku merasa kasihan dengan anakku, sudah berapa kali dia kupaksa untuk
mengerjakan tugasnya secara mandiri, memaksanya untuk mengerti bahwa mamanya
adalah seorang guru. Yang juga sangat dibutuhkan banyak anak yang lain bukan
hanya dia, yang walaupun pada kenyataannya anak sendiri sering terabaikan.
“Aku mau mama.. aku mau mama!”
teriak akan laki – lakiku ketika aku menolak untuk membantunya mengenakan
pakaiannya setelah dia mandi sore karena aku sedang serius menatap laptop
mengikuti sebuah seminar online tentang materi bahan ajar.
“ Kenapa mama
lihat laptop terus? Kenapa mama nggak sayang Vian?” protesnya kemudian.
“Oh..Tuhan ampuni aku. Terlalu sibuk rupanya aku dengan segala hal ini sampai
lupa bahwa anak – anakku juga penting, tapi apa daya, tuntutan pekerjaan ini
membuat aku kehabisan waktu untuk mereka.” Kataku dalam hati sambil kupeluk
anak laki- lakiku yang baru menginjak usia empat tahun. Dalam hati akupun tersiksa,
tubuh dirumah namun pikiran dan waktuku untuk pekerjaanku.
“Bu.....bu.....bu.” sebuah sentuhan
lembut dibahuku menyadarkanku. Bu Lastri menyodorkan tissue kepadaku, aku ambil
selembar dan mengusapkannya pada wajahku. Tak terasa air mataku mengalir, namun
itu membuatku lega melepas gundah dan rasa marah, “ maafkan saya bu, seharusnya saya tidak
menunjukkan berita ini sama ibu. Saya lihat ibu sangat tertekan.” Jelasnya
dengan wajah sangat bersalah. “Tidak mengapa Bu Lastri, saya hanya mengingat
betapa banyak hal yang kita alami pada masa pandemi ini, namun pekerjaan kita
dipandang sebelah mata oleh beberapa orang. Saya menangis memang untuk
meredakan rasa kecewa dan beban saja. Njenengan tidak perlu merasa bersalah.”
Ungkapku mencoba menjelaskan. “ Iya bu.. saya juga selalu bertanya dalam hati
kapan pandemi ini berakhir, ini sangat menyusahkan kita, menyita seluruh waktu
kita.” Tambah Bu Lastri. “ Ya, sudahlah bu, kita hanya bisa berdoa dan
berusaha. Berusaha menjalani semua ini dengan baik, menyiapkan yang terbaik
untuk anak didik dan juga tidak mengabaikan anak kita sendiri. “ kataku
kemudian.
Komentar
Posting Komentar